Sudah menjadi rahasia umum kalau di dalam dunia bisnis, hampir segala sesuatunya butuh uang. Orang yang tidak kenal bisa tiba-tiba terasa akrab ketika ada sesuatu yang bisa di-uang-kan. Jika butuh bertemu dengan seorang petinggi di suatu perusahaan, akan sangat mudah ketika ada perantaranya… yang mana tentu saja si perantara sudah diberikan imbalan. Ini yang saya sebut dengan istilah “beli koneksi”. Bagi kebanyakan orang, termasuk saya, hal tersebut adalah hal yang wajar. Namun, praktek seperti ini ternyata juga terjadi di dunia sekolah.
Jadi ceritanya beberapa waktu lalu saya mendengar cerita kalau ada orang yang sengaja menyekolahkan anaknya di sekolah-sekolah terkenal / internasional [dan tentunya mahal] meskipun keuangannya di level menengah ke arah bawah. hahaha…
“Hmm…..” kira-kira seperti itu respon saya ketika mendengar cerita tadi. Saya sih bisa menebak jalan pikiran orang-orang seperti itu, yaitu mirip dengan aktivitas dunia bisnis tadi. Harapannya tentu supaya anaknya bisa berteman dengan anak-anak yang latar belakang keluarganya kaya, karena pastinya orang-orang yang memang kaya pasti juga menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah-sekolah seperti itu. Dari situ tinggal dilanjutkan lagi, apakah kemudian si orang tua menawarkan bisnis, atau terus menjadi dekat agar suatu saat menjadi besan.
Menurut saya tidak ada yang salah dengan hal tersebut. Itu pilihan masing-masing orang. Hanya yang menjadi tidak tepat adalah ketika kemudian harus mengorbankan keuangannya. Saya coba lihat di internet beberapa informasi mengenai biaya sekolah internasional, dan saya kaget (krik…krik…krik).
Ya maklum, lha… soalnya anak-anak saya sekolahnya di sekolah swasta yang levelnya lumayan aja [dan yang penting dekat], jadi uang sekolahnya cukup murah, masih dibawah 1 juta per-bulan, pas SD dibawah 500 ribu malah. Kalau yang sekolah internasional, tentu tidak dapat segitu, kawan! Ada 1 teman kerja saya menyekolahkan anaknya di salah satu sekolah internasional di kelapa gading, uang sekolahnya katanya “standard” (ternyata 3,5 juta/bulan). Ini per-anak, dan tidak termasuk biaya-biaya lain (uang pangkal, uang kegiatan, uang buku/seragam, dll).
Kembali ke permasalahan pengorbanan keuangan, bayangkan jika orang tua dengan gaji 10 juta harus mengeluarkan biaya uang sekolah 3 juta/bulan, artinya porsi penghasilannya sudah berkurang 30%. Bagaimana dengan pengeluaran utama lain seperti listrik-air-internet-transportasi-makan? belum kalau perlu belanja kebutuhan rumah tangga, atau kalau ada cicilan seperti kpr, kredit mobil/motor. Tidak perlu bertanya ke konsultan keuangan, kita akan langsung tau kalau kondisi keuangannya akan semakin parah dalam beberapa tahun kemudian, karena jenjang pendidikan itu cukup panjang, uang sekolah setiap tahun naik, dan harga-harga kebutuhan hidup meningkat, padahal gaji belum tentu bisa naik.
Intinya adalah kebijakan dalam penggunaan uang saja, sih. Tidak ada yang salah dengan mindset “beli koneksi”, asalkan dibarengi dengan modal yang cukup. Ngomong-ngomong soal modal, next nya saya mau tulis post tentang “modal kuat”, terinspirasi dari game.