Yang terbaik versi siapa?

Waktu saya menonton satu film yang mana adegannya tentang anak menangis karena ayahnya masuk rumah sakit, saya teringat cerita opa angkat saya.

Ibunda dari opa adalah salah satu penderita penyakit gula. Sampai suatu waktu penyakitnya semakin parah sehingga masuk rumah sakit dan sampai koma. Opa adalah seorang pendeta sehingga beliau mendoakan ibu nya siang dan malam, berharap Tuhan menyembuhkan penyakit ibunya. Berhari-hari lewat dan tidak ada perubahan apapun. Opa katanya heran kenapa tidak terjadi sesuatu, padahal biasanya jika ia berdoa sungguh-sungguh, Tuhan pasti bertindak. Sampai pada satu hari, seseorang berkata kepada opa untuk berhenti berdoa dan merelakan ibunya. Disitulah opa sadar kalau selama ini mungkin dia ‘menahan’ ibunya padahal tidak mengetahui apa yang dirasakan ibunya, sehingga malah tidak ada perubahan apapun. Akhirnya opa hanya berdoa agar Tuhan memberikan yang terbaik. Tidak lama kemudian ibunya meninggal.

Kita pasti selalu menginginkan yang terbaik untuk orang yang kita sayangi, tetapi apakah memang “hal terbaik” itu adalah yang terbaik bagi orang tersebut?

Kebanyakan kita berasumsi bahwa apa yang kita lakukan untuk seseorang adalah yang terbaik untuknya. Apakah benar? Pastinya belum tentu. Mestinya ditanyakan langsung ke orangnya, dong. Tidak pakai asumsi sendiri. Apa yang kita pikir baik untuk si A, belum tentu benar baik dari sudut pandang si A.

Contoh paling umum adalah ketika orang tua memaksakan sesuatu kepada anaknya, misalnya “dipaksa” untuk kuliah jurusan tertentu atau meneruskan usaha orang tua. Dengan berbagai alasan yang kelihatannya untuk kepentingan si anak, orang tua merasa bahwa apa yang dilakukannya adalah yang terbaik untuk anaknya itu. Tetapi apakah kenyataannya demikian? Belum tentu, kawan.

Apa yang kita pikirkan baik untuk anak kita, belum tentu benar-benar baik untuknya. Mengapa tidak menanyakan langsung kepada anaknya? Mengapa tidak berdiskusi? Mungkin benar si anak belum paham betul dunia luar, anak belum paham tanggung jawab ataupun hal-hal lain, tetapi bukan berati apa yang kita pahami juga cocok untuknya. Dengan adanya tanya jawab, diskusi, toh akan lebih jelas.

Bukan hanya dengan anak, tetapi dengan siapapun.. apakah dengan orang tua kita, pasangan kita, saudara kita, teman kita. Apa yang kita anggap baik, belum tentu baik bagi orang itu. Karena itu perlu komunikasi untuk menyamakan persepsi agar tidak ada pertanyaan “yang terbaik versi siapa?”