Ukur diri

Musim hujan dan cuaca dingin seperti ini, saya agak sering masak air panas untuk mandi. Suatu kali pas saya masak air panas pakai panci gagang yang biasa dipakai, suami tanya “kenapa masak airnya ngga sekalian penuhin 1 panci aja?” Saya memang punya alasan sendiri, yang entah bisa diterima orang lain atau tidak, jadinya saya hanya jawab “tidak apa-apa”. Mungkin kamu juga akan bertanya hal yang sama kepada saya, malah ada tambahan argumen “bukannya semakin banyak air panasnya akan semakin enak mandinya”, dll.

Saya dulu memang masak air panas 1 panci penuh seperti digambar, tapi pernah satu kali saya lumayan ceroboh ketika memindahkan panci dari kompor ke kamar mandi, pancinya goyang dan airnya tumpah kena tangan dan kaki saya. Meskipun tidak tumpah semua, air mendidih yang kena tangan dan kaki meninggalkan sakit yang lumayan juga. Setelah itu saya berpikir, “kenapa gue harus memaksakan diri masak 1 panci penuh kalau resikonya seperti ini. Ada air panas meski ngga sepanci udah lumayan” Sejak itu saya tidak pernah masak air 1 panci penuh. Itu saja alasan saya.

Coba bayangkan, enak ngga hidup pesepakbola profesional yang gajinya berapa juta dollar / musim? Atau mau ngga punya rumah mewah atau mobil wow seperti atlit-atlit olahraga terkenal? Ya kalau ditanya mau atau tidak, pasti jawabnya mau. Tapi pertanyaannya, mau menjalani hidup seperti mereka juga? Yang namanya atlit sudah dipastikan latihannya tidak main-main. Kalau kita tidak serius dan sungguh-sungguh, dijamin out deh, sehingga dapat capek dan sakit doang. Dengan kata lain, kalau tidak benar-benar dan sungguh-sungguh, kemungkinan besar dapat ‘sakit’ doang.

Ini yang saya sebut “mengukur diri”. Kadang kita menginginkan sesuatu yang kelihatannya baik/enak tapi kita tidak mengukur diri dahulu sehingga akhirnya memaksakan diri yang kemudian bisa menimbulkan sakit dan pengorbanan. Iya kalau benar-benar bertekad kuat sehingga apapun yang terjadi tetap lanjut dan apapun rintangan dan pengorbanannya tetap berjuang, saya percaya akan tetap bisa berhasil; tetapi ketika semangat turun dan effort juga semakin berkurang, yang tersisa hanyalah sakit dan kekecewaan.

Pertanyaan selanjutnya yang kamu mungkin bertanya-tanya, “kenapa ada orang yang berhasil meski kita tau effort-nya tidak segimananya?” Ya bisa, karena talentanya cocok.

Contoh sederhana adalah pelukis hebat. Bakatnya memang melukis, jadi meski matanya ditutup juga bisa melukis dengan luar biasa. Coba kalau kita-kita [yang talentanya dibidang lain] melukis, pasti hasilnya parah. wkwkwkwk. Contoh lain lagi adalah saya. Saya ini payah dalam membedakan rasa (bad tester), jadi saya ini tidak bisa memasak. Masakan yang katanya asin saja, menurut saya belum tentu asin. Bisa, ngga kalau saya belajar masak? belajar sih bisa-bisa saja, tetapi akan sangat memaksakan diri. Makanya kalau lagi tidak ada makanan, ya saya beli. Kalaupun semua restoran/warung tutup, minimal saya masih bisa bikin mie instan, sudah cukup untuk saya.

Kesimpulannya apa? ukurlah diri, jangan terlalu memaksakan diri jika kita tidak benar-benar bisa atau mampu karena kemungkinan malah akan menimbulkan pengorbanan. Kalau memang tetap mau mencoba, ya cobalah semampunya, tidak perlu maksa. Sebaliknya, caritau apa talenta kita kemudian diasah agar kemudian kita bisa mendapatkan hasil yang luar biasa dari situ.