
Dulu saya sempat hafal slogan salah satu restoran yang kira-kira bunyinya “masakan bintang 5, harga kaki 5.” Pengalaman pribadi saya…. memang sih harganya termasuk murah untuk restoran ber-AC, tapi porsi nya juga minim, jadi ya kalau makan sekeluarga jatohnya mahal juga.
Nah, ceritanya belum lama ini ada diskusi di grup ortu sekolah anak saya. Sejak tahun ajaran baru 2022, sekolah mulai tatap muka kembali tetapi dengan aturan yang lebih ketat. Salah satunya, kalau anak tidak fit, apalagi batuk atau pilek, mesti belajar dirumah. Ini yang sering menjadi topik bahasan (a.k.a curhatan) mami-mami dari sejak awal tahun ajaran.
Well, sebenarnya dari jaman jebot, namanya anak-anak kena batuk atau pilek itu wajar. Apalagi menjelang pergantian musim, cuaca terik tiba-tiba bisa hujan, belum lagi kalau bocah-bocah itu sedang main lalu jadi kehujanan. Hebat kalau anak-anak bisa tahan setahun penuh tidak pernah bapil.
Beberapa bulan setelah aturan tersebut dijalankan (dan benar-benar kepsek nya sering sidak ke ruang kelas, kalau ada anak yang ketauan batuk/pilek/terlihat lemas langsung minta ortu agar besoknya anak tidak masuk sekolah dulu), para mami meminta agar pihak sekolah menyelenggarakan pembelajaran hybrid, alasannya agar anak tetap bisa mengikuti pelajaran sekolah di rumah masing-masing ketika sedang tidak sehat.
Ide yang bagus sebenarnya, tetapi pihak sekolah kami akhirnya menolak, dengan berbagai pertimbangan. Karena penolakan inilah mulai terjadi diskusi yang semakin heboh di grup ortu. Mami-mami yang tidak senang keputusan sekolah mulai membanding-bandingkan sekolah kami ini dengan sekolah A, B, C, D, E… “apa susahnya sih guru mengajar di kelas sambil buka Zoom? di sekolah sana aja bisa” atau “kan tinggal direkam pas gurunya ngajar trus share di grup kaya sekolah B”, dll.
Lucu juga sih baca chat mami-mami itu. Kenapa lucu? karena saya melihat kalau mereka membandingkan sekolah kami dengan sekolah yang bayarannya lebih mahal (ada yang mahalnya jauh malah), yang mana pastinya fasilitasnya memang lebih baik, peralatannya mungkin lebih canggih, guru nya mungkin punya asisten. Jadi ketika perlu adaptasi karena aturan pemerintah, mereka lebih mudah dan lebih cepat implementasi perubahan. Lha sekolah kami ini hanya sekolah di dalam perumahan, uang SPP juga murah dibandingkan sekolah-sekolah swasta lain, jadi wajar jika sekolah tidak bisa langsung adaptasi perubahan, terutama yang membutuhkan teknologi atau resource yang cukup lumayan.
Itulah kenapa saya kemudian teringat slogan restoran tadi. Mirip mami-mami ini. Mereka bayar harga bintang 2, tapi berharap fasilitas bintang 5. Gubrak!