
Kali ini saya ingin mendedikasikan waktu saya saat ini untuk menulis sebuah post (kalau pakai istilah keren di dunia teknologi, real time). Biasanya saya menulis kapan saja dan kemudian menjadwalkan postingan untuk terbit setiap hari sabtu, karena ilham menulis itu bisa datang sewaktu-waktu. Jadi ketika ada ide pasti langsung saya tuliskan dan kemudian tinggal saya jadwalkan agar postnya bisa terbit di waktu yang sudah saya tentukan.
Hari ini tanggal 18 Januari 2025, saya dan suami baru saja pulang dari rumah duka, hari terakhir prosesi pelepasan&kremasi opa angkat kami. Kabar duka awalnya datang di hari rabu lalu, pagi hari ketika saya bangun tidur dan melihat hp, sudah banyak chat yang masuk menginfokan kalau opa Paulus sudah dipanggil Tuhan. Setelah itu di malam harinya kami datang ke rumah duka dan mengikuti prosesi.
Selama mengikuti prosesi yang ada, saya beberapa kali menangis ketika mengenang beliau. Tentu saja, pertemuan selama dua puluh lima tahun bukan waktu yang sebentar untuk kemudian dilupakan begitu saja. Meskipun kami sebenarnya jarang bertemu karena kesibukan masing-masing, tetapi ada cukup banyak momen kebersamaan yang berkesan. Dan yang pasti, banyak berkat yang saya terima sehingga rasanya tidak rela untuk kehilangan beliau.
Hari ini, sebelum prosesi berakhir, saya tiba-tiba terpikirkan judul post ini… Bukan bahagia, tetapi damai.
Tidak ada orang yang berbahagia ketika orang yang disayangi meninggal. Termasuk saya. Tetapi kemudian saya merenungi arti kata “damai” tersebut. Bagaimanapun, usia opa memang sudah tinggi, 91 tahun. Sebelum meninggal, beliau sudah sempat bolak-balik rumah sakit, termasuk dirawat di ruang ICU. Ketika saya menjenguk di ruang ICU, saya juga menangis karena melihat “penderitaan” opa. Bagaimana tidak, ada banyak selang-selang. Tangan opa pun sempat diikat karena infonya tangannya bisa mencabut selang sehingga akhirnya diikat. Apakah kondisi demikian lebih baik? Jauh sebelum bolak-balik ke rumah sakit-pun, beliau juga sudah sulit bergerak karena kakinya sudah tidak dapat difungsikan dengan semestinya, jadi kesehariannya hanya di tempat tidur. Apakah hidup seperti itu menyenangkan?
Saya merenungkan bahwa kepergian opa seharusnya justru memberikan damai karena pada akhirnya opa tidak lagi menderita, opa sudah bebas. Memang tidak membahagiakan dan tentu tidak menyenangkan… tetapi pasti ada kedamaian karena mengetahui bahwa opa sudah tenang.
Manusia pada akhirnya akan meninggal, karena itu kita memang perlu belajar merelakan ketika ada orang yang kita kasihi sudah habis waktunya di dunia. Tidak ada satu orang-pun yang mengetahui kapan waktunya habis di dunia, dan tidak ada suatu apapun yang dapat diperbuat untuk memperpanjang waktu tersebut karena manusia hanyalah manusia. Yang bisa dilakukan hanyalah merelakan, dan bersyukur karena mereka sudah beristirahat dengan tenang.
Selamat jalan, opa Paulus. Until we meet again…